Fenomena bercadar sedang merebak di Pesantren Babul Khairat. Bercadar seolah menjadi “tren” baru yang menyempurnakan hijab yang sebelumnya berupa jilbab, sebagaimana umumnya dipakai oleh muslimah di negeri ini. Tren yang sangat positif tentunya, sangat kontradiktif dengan  tren fashion di luar sana yang semakin meminimkan kain dan menipiskan bahan. Para penjual pakaian muslim di sekitar pun diuntungkan dengan adanya segmen pasar baru yang sedang booming ini. Yang menarik, fenomena ini tidak hanya terjadi dilingkungan pesantren tetapi juga di lingkungan masyarakat sekitar.

Agama Islam selain agama yang penuh kasih, juga merupakan agama yang paling sempurna, karena tidak ada suatu hal pun kecuali memiliki hukum tersendiri. Begitu pula masalah hijab. Hijab adalah sebuah proteksi yang dapat menjaga seorang wanita dari pelecehan. Hijab juga merupakan identitas seorang muslimah yang bangga akan agamanya dan menjaga akan kehormatan dirinya.

Perintah hijab diturunkan pada zaman Rasulullah saw. Terdapat sebuah kisah yang dinukil dari Imam Muhammad al-Baqir r.a. Beliau bersabda: “Pada suatu hari, di kota Madinah ada seorang wanita cantik yang sedang berjalan dengan mengikatkan kerudungnya ke telinganya (yang menjadi kebiasaan wanita pada saat itu) sehingga tampak leher dan dadanya. Seorang laki-laki dari golongan Anshar berpapasan dengannya, karena kecantikan wanita tersebut dia terpesona dan tidak peduli akan keadaan sekelilingnya, dia telah mabuk akan kemolekan wanita tersebut. Sang wanita memasuki gang sempit, sedang pandangan laki-laki tersebut terus membuntutinya sampai tak terasa dia terbentur sebuah benda keras dan tajam sejenis tulang atau kayu yang menjorok dari tembok sehingga kepala dan dadanya mengucurkan darah segar yang melumuri pakaiannya. Dalam keadaan seperti itu dia datang menghadap Rasulullah saw dan menuturkan semua yang terjadi. Pada saat itulah, malaikat Jibril a.s. datang membawa ayat ini:

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak – budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An-nur 31)

Keyakinan berhijab, yaitu bercadar, atau hanya berjilbab tanpa bercadar bukanlah sesuatu hal yang perlu diperdebatkan lagi karena semuanya memiliki dalil-dalil tersendiri.  Dalam sebuah hadits : Dari A’isyah RA bahwa sesungguhnya Asma’ binti Abi Bakar masuk kehadapan Rasulullah SAW dan Asma’ saat itu memakai baju yang tipis. Maka Rasulullah berpaling daripadanya seraya berkata: “Apabila Wanita telah dewasa (haidh), maka ia tak boleh terlihat kecuali INI dan INI. Dan Rasul menunjuk pada WAJAH dan TANGAN beliau. Hadist riwayat Abu Dawud.

Sedangkan hadits yang memperkuat keyakinan bercadar ada beberapa diantaranya adalah berikut ini :  Dari A’isyah:  “Ada kafilah bertemu kami, saat itu kami bersama Rasulullah sedang Ihrom. Saat mereka telah dekat masing- masing kami menurunkan jilbabnya dari kepala sampai menutup muka. Dan saat kafilah itu telah melewati kami, kami membuka wajah kami.” Sunan Abu Dawud: 1/ 1833.

Melihat semakin maraknya penerapan syariat Islam yang salah satunya berupa pemakaian hijab ini mengingatkan saya kepada kenangan masa lalu yang rasanya tak salah untuk dikenang. Masa akhir tahun 80an dimana saya masih anak-anak, jilbab adalah pakaian yang langka. Bila ada orang yang berkerudung mungkin hanyalah orang yang sudah tua atau pelajar sekolah agama. Saya masih ingat ketika saya masih SD, sangat jarang orang memakai jilbab atau kerudung. Mungkin hanya guru agama sajalah yang saat itu berhijab. Itupun saat di luar sekolah dia pun melepas jilbabnya. Pada waktu bersekolah di sebuah Tsanawiyah Negeri yang notabene berasaskan Islam, saya pun tercengang kala itu. Memang jilbab dan busana Muslim dipakai sebagai seragam selama proses belajar mengajar. Tetapi jika ada kegiatan praktek olahraga atau ekstrakulikuler Pramuka, maka siswi dilarang berjilbab dan harus menggunakan seragam olahraga berupa kaos lengan pendek dan celana pendek selutut. Begitu juga dengan seragan pramuka berupa hem lengan pendek dan rok selutut. Jika melanggar peraturan in maka akan diberi peringatan dan bahkan dikurangi nilainya. Dan itu pernah saya alami.

Ketika memasuki sebuah SMA Negeri, saya adalah salah satu dari 3 orang yang memakai jilbab si sekolah tersebut. Namun tak lama setelah itu, muncullah beberapa orang teman yang mulai berjilbab hingga akhirnya, cukup banyak siswi yang berhijab di SMA itu. Hingga saat ini semakin banyak jumlah muslimah berjilbab bahkan bukan hanya di sekolah-sekolah agama atau instansi-instansi keagamaan, jilbab juga mulai diterima oleh kalangan masyarakat umum. Sekarang bisa kita lihat di berbagai instansi seperti bank, kantor pemerintahan, kantor swasta, rumah sakit, sekolah umum dan berbagai tempat yang lain mengizinkan pegawainya untuk berjilbab.

Jika dulu berjilbab dianggap langka dan aneh, saat ini tidak lagi. Bahkan yang aneh adalah apabila berjilbab menjadi kendala dalam penerimaan kerja  sebuah instansi. Ini merupakan sebuah berkah dan rahmat dari Allah swt sekaligus merupakan kesuksesan dakwah di tanah air. Dakwah berperan penting untuk menyampaikan syariat Islam secara sistematis sehingga dapat diterima oleh masyarakat dan dampaknya adalah membawa sebuah transformasi bagi umat Islam itu sendiri. Sebagaimana kisah yang saya ceritakan, umat Islam Indonesia juga bertransformasi dalam menerapkan syariat Islam, dalam hal ini jilbab.

Transformasi dalam kamus bahasa Indonesia berarti sebuah perubahan rupa baik bentuk, sifat atau fungsi. Manusia pun bisa melalui sebuah proses transformasi. Apakah transformasi yang sifatnya positif ataupun negatif. Tentunya yang diharapkan terjadi pada setiap diri manusia adalah transformasi positif atau perubahan ke arah yang lebih baik. Karena sebagaimana sabda Nabi saw : “ Beruntunglah orang yang hari ini lebih baik dari hari kemaren, rugilah orang yang hari ini sama dengan hari kemaren dan celakalah orang yang hari ini lebih buruk dari yang kemaren”.

Perubahan pada diri manusia adalah sebuah keniscayaan. Alangkah beruntungnya manusia yang masih memiliki kesempatan untuk membuat dirinya bermetamorfosis, sebagaimana ulat bulu yang menjijikkan menjadi sebuah kupu-kupu yang indah. Kita harus mendukung setiap transformasi positif, seorang mantan pecandu narkoba menjadi juru dakwah, seorang mantan perampok menjadi ustadz, seorang mantan aktris film panas yang biasa tampil seksi menjadi seorang muslimah berjilbab atau seorang santri yang kerap melakukan pelanggaran berubah menjadi seseorang yang santun dan tawadhu’.

Bukan bermaksud menggurui, karena diri ini pun jauh dari kata baik apalagi sempurna. Transformasi diri memerlukan tahapan-tahapan yang harus dijalani dan datang dari keyakinan diri sendiri, bukan karena ikut-ikutan atau agar dikatakan sebagai manusia sempurna. Jika tidak maka proses transformasi itu akan tidak sebaik yang diharapkan, atau setengah jadi. Yang paling penting, transformasi ini tidaklah hanya dilakukan secara fisik atau penampilan tetapi yang paling penting adalah mentranformasi jiwa dan hati, sehingga yang tampak tidak hanya perubahan dari luar saja. Bagaimana seseorang itu bisa berubah menjadi sosok yang lebih santun, berakhlak dan yang lebih penting adalah menata hati agar tidak memiliki sifat ujub, riya’ atau menganggap diri lebih mulia dari yang lain. Wallahua’lam bishawab.

Fatimah Alattas

Leave a Reply

Leave a Comment