Judul diatas bukanlah sebuah curahan hati (curhat ) pribadi, apalagi sebuah bentuk denial / penyangkalan terhadap kodrat seorang wanita. Judul di atas hanyalah sebagai sebuah ungkapan betapa berat dan besarnya tanggungjawab seorang ibu. “ Saya hanya seorang ibu rumah tangga” jawab seorang ibu ketika ditanya mengenai profesinya. Kata “ hanya” memiliki konotasi sesuatu yang sepele atau biasa. Masyarakat memang terlanjur menganggap bahwa profesi ibu rumah tangga hanyalah profesi wanita yang tidak berpendidikan. Berbeda dengan wanita karier yang memiliki gengsi dan “berharga” di mata orang.

Pada kenyataanya seorang ibu rumah tangga harus memiliki kemampuan yang mumpuni dalam segi intelektualitas maupun emosional.  Bagaimana tidak? Seorang ibu harus bisa menjadi dokter yang merawat suami dan anak-anaknya yang sakit, menjadi akuntan yang harus mampu mengatur keuangan keluarga, menjadi koki dan ahli gizi untuk membuat makanan yang sehat dan berguna bagi tumbuh kembang anak-anaknya atau bahkan harus menjadi arsitek untuk menata ruangan dan mengatur perabotan sehingga rumah nyaman untuk ditempati.

Tugas ibu sangatlah tidak mudah. Setelah mengandung 9 bulan, ia harus berjuang mempertauhkan nyawanya untuk melahirkan sang anak. Ketika anak lahir ke bumi, ia harus mengorbankan waktu-waktunya untuk merawat dan menyusui bayinya. Ibu harus berjaga hampir setiap malam untuk mendiamkan tangisan anaknya. Tak berhenti sampai disitu, ibu harus menyiapkan makanan setiap harinya yang terkadang tak ingin disantap oleh anaknya. Kalau profesi lain memiliki jam kerja seorang ibu memiliki tanggungjawab full day dalam menyiapkan keperluan keluarganya. Pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan yang tidak mengenal waktu libur, cuti atau dispensasi. Bahkan tak jarang seorang ibu harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Belum lagi bila anak melakukan sebuah kesalahan maka ibulah yang dianggap salah mendidik.

Sebuah  survey dilakukan terhadap 18.000 ibu rumah tangga di Toronto, Canada. Survey tersebut adalah mengenai daftar pekerjaan rumah tangga mereka sehari-hari. Sebuah perusahaan standar penggajian mendeskripsikan gaji yang seharusnya di terima seorang ibu rumah tangga jika pekerjaan domestik yang mereka lakukan digaji. Pendapatannya adalah sejumlah $ 124.000 atau Rp. 1.116.000.000 per bulan. Mungkin semua wanita akan memilih menjadi ibu rumah tangga jika ini benar-benar diterapkan.

Maka dari itu tak heran mengapa ibu memiliki keistimewaan 3 kali diatas ayah sebagaimana sabda Rasulullah saw. Ibu memiliki tugas yang cukup berat, seperti yang tertuang dalam ayat suci Al Quran berikut :

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. ( QS Al ahqaf : 15)

Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Dalam pepatah Arab ada ungkapan berbunyi al-ummu madrasah (ibu adalah sekolah). Karena itulah maka seorang ibu haruslah cerdas, cerdas secara intelektual, emosional dan juga spiritual. Cerdas secara intelektual karena ibulah yang pertama kali mengajarkan banyak pelajaran awal tentang kehidupan kepada anak sebelum ia masuk ke bangku sekolah. Ibu harus mengenal dan mengetahui banyak hal yang mungkin akan ditanyakan oleh anaknya. Cerdas secara emosional karena ibu harus bisa mengendalikan emosinya, harus sabar dan memiliki keikhlasan yang tinggi dalam melayani keperluan suami dan anak-anaknya. Cerdas secara spiritual karena ibu harus memiliki iman dan ketakwaan yang tinggi untuk dapat membimbing anak-anaknya. Jika tidak demikian, kemungkinan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya yang terjadi beberapa tahun lalu dimana ada seorang ibu yang membunuh ketiga anaknya dengan alasan khawatir akan masa depan anak-anaknya kelak. Padahal sang ibu adalah seorang muslimah dan merupakan alumni perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia. Artinya ia adalah seorang yang cerdas secara intelektual, tapi tidak secara spiritual.

Tantangan bagi ibu semakin berat terutama di zaman penuh fitnah seperti sekarang dimana ghazwul-fikri (perang pemikiran/ perang budaya/ perang ideologi) datang menyerbu rumah-rumah kaum muslimin. Serbuan itu datang dari berbagai penjuru. Bisa dari televisi, internet, facebook, koran, komik, majalah,  musik, pergaulan dan bahkan dari sekolah. Maka kehadiran seorang ibu yang memiliki wawasan pengetahuan luas laksana  benteng bagi anak-anaknya. Ibulah yang bertugas membentengi, memfilter dan mengarahkan anak-anak menghadapi berbagai serbuan perang budaya tadi.

Beratnya beban menjadi ibu rumah tangga juga dirasakan oleh putri tercinta Baginda Nabi yaitu Sayyidah Fatimah Az-Zahra’ radhiyallahu anha. Suatu hari  Rasulullah SAW menemui putrinya Fatimah Az-Zahra’. Didapatinya putrinya itu sedang menggiling syair (sejenis padi-padian) dengan menggunakan sebuah penggilingan tangan dari batu sambil menangis. Rasulullah SAW bertanya padanya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis wahai Fatimah?, semoga Allah SWT tidak menyebabkan matamu menangis”. Fatimah  berkata, “Ayah, penggilingan dan urusan-urusan rumahtanggalah yang menyebabkan saya menangis”. Lalu duduklah Rasulullah SAW di sisi putri yang sangat dicintainya itu. Fatimah melanjutkan perkataannya, “Wahai Rasulullah, sudikah kiranya ayah meminta Ali (suaminya) mencarikan saya seorang jariah untuk menolong saya menggiling gandum dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah”.

Mendengar perkataan putrinya ini maka bangunlah Rasulullah SAW mendekati penggilingan itu. Beliau mengambil syair dengan tangannya yang diberkati lagi mulia dan diletakkannya di dalam penggilingan tangan itu seraya diucapkannya “Bismillaahirrahmaanirrahiim”. Penggilingan tersebut berputar dengan sendirinya dengan izin Allah SWT. Rasulullah SAW meletakkan syair ke dalam penggilingan tangan itu untuk putrinya dengan tangannya sedangkan penggilingan itu berputar sendiri sambil bertasbih kepada Allah SWT dalam berbagai bahasa sehingga habislah butir-butir syair itu digilingnya. Rasulullah SAW berkata kepada gilingan tersebut, “Berhentilah berputar dengan izin Allah SWT”, maka penggilingan itu berhenti berputar .

Rasulullah SAW bersabda kepada putrinya, “Jika Allah SWT menghendaki wahai Fatimah, niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah SWT menghendaki dituliskan untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat. Wahai Fatimah, perempuan mana yang menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah SWT menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya suatu kebaikan dan mengangkatnya satu derajat. Wahai Fatimah, perempuan mana yang berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya maka Allah SWT menjadikan antara dirinya dan neraka tujuh buah parit. Wahai Fatimah, perempuan mana yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci pakaian mereka maka Allah SWT akan mencatatkan baginya ganjaran pahala orang yang memberi makan kepada seribu orang yang lapar dan memberi pakaian kepada seribu orang yang bertelanjang. Wahai Fatimah, perempuan mana yang menghalangi hajat tetangga-tetangganya maka Allah SWT akan menghalanginya dari meminum air telaga Kautsar pada hari kiamat. ”

Walaupun terlihat berat, ternyata hampir semua wanita ingin menjadi ibu. Allah telah menganugerahkan naluri keibuan pada setiap wanita. Cinta kasih seorang ibu tak akan sanggup dibayar berapapun jumlahnya oleh seorang anak, dan memang ibu pun tak mengharap apapun selain kebahagiaan anak-anaknya. Bahkan gaji yang sepantasnya diterima seorang ibu rumah tangga dengan jumlah fantastis sebagaimana hasil survey di atas menjadi tidak berarti apapun jika dibandingkan pahala yang dijanjikan oleh Allah SWT. Dengan keikhlasan yang didasari cinta kasih terhadap keluarganya, seorang ibu tak akan lagi berucap  “susahnya menjadi seorang ibu” melainkan “beruntungnya aku menjadi ibu”, karena cinta dan pengorbanan ini akan dibalas setimpal bahkan lebih oleh Sang pemilik cinta.

Fatimah Azzahra Alattas, SE
(Guru Bahasa Inggris SMP Babul Khairat)

Leave a Reply

Leave a Comment