Ketika Umar bin Khaththab menjadi khalifah, beliau menunjuk Sa’id bin ‘Amir untuk menjadi gubernur di Himsha. Tak berselang lama dari pengangkatan Sa’id sebagai gubernur di Himsha, Sayyidina Umar dikejutkan oleh kedatangan utusan dari Himsha untuk memberikan laporan terkini tentang apa yang terjadi di Himsha. Terkait dengan kondisi sosial, politik dan juga ekonomi.

Dalam laporan ekonominya, para utusan itu menyampaikan bahwa masih banyak penduduk Himsha yang berada di bawah garis kemiskinan. “Oke, kalau begitu, tolong berikan kepadaku data para penduduk yang miskin negeri kalian. Aku akan memberikan bantuan pada mereka, yang akan aku ambilkan dari baitul mal” begitu pinta Umar setelah mendengar keterangan mereka.

Kemudian mereka pun menyerahkan beberapa lembar kertas yang berisi data para penduduk miskin yang layak mendapat bantuan dari baitul mal. Setelah Amirul Mukminin menerima kertas tersebut, membaca isinya, Umar kaget, karena mendapati diantara nama-nama tersebut ada nama Sa’id. “Siapa Sa’id yang tertera disini?” tanya Umar. “Gubernur kami, wahai Amirul Mukminin” jawab para utusan serempak. “Jadi, gubernur kalian melaraaat?” Tanya Umar pada mereka, dengan nada yang seakan tak percaya. (padahal Umar sendiri juga bukanlah orang kaya) “Iyaa” jawab mereka. “Sesungguhnya telah lama kami tak mendapati api mengepul di dapur gubernur kami” sambung mereka menceritakan keadaan Sa’id.

Mendengar cerita keadaan Sa’id yang menyedihkan seperti itu, Umar pun menangis. Maka di antara pundi-pundi uang yang akan dibagikan kepada penduduk Himsha yang miskin, beliau dengan sengaja menyiapkan satu pundi khusus yang berisi seribu dinar untuk diserahkan pada Sa’id bin ‘Amir, dengan harapan agar Sa’id bisa tenang menjalankan tugasnya sebagai gubernur, tanpa gangguan masalah finansial keluarga.

**

Ketika para utusan tersebut kembali ke Himsha, mereka segera menunaikan amanah, menyerahkan semua uang kepada yang berhak sesuai dengan data mereka. Dan tak lupa juga mereka menyerahka uang milik Sa’id, titipan dari Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab ra. Tapi, betapa kagetnya Sa’id ketika melihat uang sebanyak itu.

“Innaa lillaahi wa innaa ilahi raaji’uun” kata Sa’id setengah berteriak, sampai-sampai istrinya yang ada di dalam rumah, kaget mendengar teriakan Sa’id.

“Ada apa, Kang Mas? Apakah Amirul Mukminin meninggal dunia?” tanya istrinya.

“Tidak, tapi musibah ini lebih besar dari itu!. Dunia telah masuk ke rumah kita untuk merusak akhirat kita.”

“Kalau begitu, cepat selesaikan”

“Baiklah… Apakah kau bersedia membantuku?”

“Tentu…”

“Ambil ini, bagikan kepada ibu-ibu yang membutuhkan” perintah Sa’id kepada istrinya sambil menyerahkan beberapa keping uang dinar. Istri Sa’id yang sebelumnya tidak tahu masalah uang itu, sedikit tergagap, bingung, menerima uang yang disodorkan suaminya. “i, i, i, iyaa, Mas… akan saya bagikan uang-uang ini pada para fuqaraa dan masaakin”

Hanya dalam sehari, uang seribu dinar yang merupakan subsidi dari negara untuk Sa’id, telah habis beliau bagikan kepada rakyatnya yang membutuhkannya. Beliau melakukan itu sendiri, dengan dibantu istri dan keluarganya. Padahal saat itu beliau juga sedang membutuhkan uang tersebut.

***

Pada satu kesempatan, Sayyiduna Umar bin Khaththab, sebagai khalifah, datang mengunjungi Himsha untuk melakukan sidak. Tanpa pengawalan, tanpa protokoler, bahkan tanpa diketahui oleh gubernur, beliau langsung menemui rakyat. Umar mengadakan temu wicara langsung dengan rakyat Himsha, tanpa melibatkan pejabat gubernuran. “Sekarang sampaikan padaku tentang kepemimpinan gubernur Kalian?” begitu pinta Umar kepada rakyat Himsha yang ditemuinya. Mereka semua menjawab, bahwasanya Sa’id bin ‘Amir adalah pemimpin yang baik, yang sangat peduli kepada rakyatnya. Hanya saja, mereka mengeluhkan tiga hal yang tidak disukainya pada diri Sa’id. “Apa tiga hal itu?” tanya Umar mendesak. “Di pagi hari Sa’id tidak mau menemui kami kecuali setelah matahari meninggi. Di malam hari, Sa’id sama sekali tidak mau diganggu, kecuali untuk satu urusan yang sangat penting. Dan dalam sebulan, Sa’id mempunyai satu hari yang sama sekali tidak keluar untuk menemui kami, kecuali setelah zhuhur.

Setelah Umar menerima laporan tersebut, kemudian beliau menghadirkan Sa’id untuk dikroscek dengan rakyatnya. Umar bertanya kepada Sa’id tentang kebenaran keluhan rakyatnya tersebut. Dengan tertunduk, wajah kelihatan bersalah, tapi tetap tegas, Sa’id menjawab pertanyaan amirul mukminin.

“Wahai Amiral Mukminin, apa yang yang mereka keluhakan tentang tiga hal itu, memang benarlah adanya. Dan sebenarnya aku malu untuk mejelaskannya padamu, kenapa semua itu aku lakukan.”

“Tak usah malu… Justru sekarang aku menuntutmu untuk menjelaskan semuanya padaku” Tegas Umar memerintah.

“Baiklah… Kalau memang Amirul Mukminin menghendaki itu. Dan sekiranya penjelasanku ini bisa menyudahi kekecewaan rakyatku” jawab Sa’id dengan suara bergetar… Matanya sudah mulai memerah, menahan tangis…

“Pada pagi hari, aku memang terlambat untuk menemui mereka. Itu karena aku tidak mempunyai pelayan. Sehingga aku harus mengadon roti sendiri, dan memasaknya untuk aku suguhkan pada keluargaku. Baru setelah itu aku shalat dhuha dan keluar menemui rakyatku”

“Sedangkan untuk malam hari, aku memang sebisa mungkin untuk tidak keluar rumah, kecuali karena urusan penting yang tidak bisa diwakilkan. Karena aku telah menghabiskan waktu siangku untuk mereka, sedangkan malam aku ingin menghabiskannya dengan Tuhanku.”

“Dan untuk satu hari dalam sebulan yang aku sama sekali tidak keluar rumah sampai tengah hari, adalah karena aku tidak punya baju lagi selain yang aku kenakan ini. Pada hari itu aku mencucinya. Aku menunggunya sampai kering. Baru setelah itu aku keluar menemui mereka”.

Begitu kata Sa’id menjelaskan masalahnya dengan runtut. Umar yang mendengar penjelasan gubernur pilihannya itu, air matanya tumpah. Beliau menarik badan Sa’id, memeluknya dengan erat. Dua orang yang saling mencintai karena Allah itu, saling berpelukan dengan cinta. Dengan lirih, Umar berujar: